Harus Berani Menerobos Kebakuan dan Kekakuan


Sri Oktapiani
Pendidikan Matematika 2012, FMIPA Unimed

Upaya melahirkan layanan pendidikan yang mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan, minat, dan bakat putra – putri Indonesia dimanapun berada dengan berbagai masalahnya, tentu membutuhkan keberanian untuk menerobos kebakuan dan kekakuan. Inilah ciri kreativitas.
Keberanian disini harus dibedakan dari kenekatan atau kesembronoan agar tidak menimbulkan masalah baru yang semakin rumit. Sebut saja keberanian itu dengan istilah keberanian yang matang (matured courage). Keberanian ini adalah keberanian yang didasari pertimbangan atas kebutuhan, perkmbangan realitas, tujuan dan harapan masa depan.
Kita sadari bahwa Indonesia adalah negeri penuh keragaman yang didikat oleh tujuan dan visi bersama, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Terdapat lebih darienam agama dan kepercayaan yang hidup dan punya akar sejarah yang luar biasa kuat. Lebih dari 1.128 suku, 225 juta penduduk dan sekitar 746 bahasa daerah.
Apesnya, di balik keragaman harmonis yang dirasakan selama ini, ada potensi bahaya yang siap meledak setiap saat. Potensi itu tak lain adalah kesenjangan (social gap) yang menurut sebagian kalangan dinilai sebagai konsekuensi logis dari kebijakan ekonomi Orde Baru yang memprioritaskan pertumbuhan dengan mengabaikan pemerataan (imbalance).
Salah satu akibat dari kesenjangan yang cukup lebar adalah layanan pendidikan tidak bisa diserap oleh semua elemen masyarakat, lebih – lebih layanan pendidikan yang baik. Ketika pemerintah menegeluarkan kebijakan BOS pun sebenarnya pemerintah tetap menimbulkan masalah karena kurang peka terhadap keragaman dan kesenjangan tersebut.
Dengan adanya BOS ke sekolah berarti bantuan ini berlaku untuk semua kalangan melalui pihak sekolah. Masalahnya adalah ketika kalangan mampu mendapatkan bantuan yang sama seperti kalangan tidak mampu. Tentu hal tersebut akan menciptakan jurang sosial yang semakin lebar. Belum lagi membicarakan anak – anak di luar sekolah.
Kalau melihat rumusan undang – undang, melihat jalur pendidikan yaitu formal, nonfrmal dan informal yang fungsi dan kiprahnya perlu disentuh oleh pikiran dan tangan – tangan kreatif. Karena pertimbangan terhadap keragaman dan kesenjangan, hal ini juga terkait dengan kebutuhan perkembangan anak yang kini tentu sudah berbeda dengan zaman dahulu.
Pengaruh eksternal yang luar biasa terhadap perkembangan anak, terutama di bidang kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, seharusnya dapat membuat kita menyadai berbagai peran semua sumber pembelajaran.  Sayangnya, sumber pembelajaran itu sifatnya netral, daam arti bisa berdampak positif dan negatif sekaligus. Kenyataan seperti ini mestinya membuat kita lebih cepat menyadari bahwa ketiga layanan pendidikan tersebut bisa berdiri secara terpisah dan parsial dalam menjalankan agenda – agenda pembelajaran. Sekolah dituntut secara kreatif untuk bisa memainkan peran masyarakat dan keluarga demi tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Kalau hanya mengandalkan keluarga saja, lingkungan atau sekolah saja sudah bisa dipastikan pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikai akan jauh lebih dominan. Yang disaksikan anak – anak dari layar kaca akan jauh lebih memengaruhi mereka ketimbang sekolah, keluarga, atau lingkungan. Inilah pentingnya menemukan format sinergi yanh kreatif.
Kalau hanya mengandalkan usaha sendiri dan kemampuan sendiri, mana mungkin bisa. Kemampuan sekolah dalam melakukan proses pendidikan akan bersaing dengan maraknya kulturisasi yang secara tidak langsung terjadi akibat adanya Facebook, BB, game online, dan lain – lain. Yang sudah susah – susah ditanamkan di sekolah akan mudah disapu oleh terpaan pengaruh gaya hidup digital jika sekolah tidak bekerja sama secara kreatif dengan keluarga dan masyarakat. Meminjam istilah dalam manajemen, kita hidup di era dimana kita harus menggunakan pendekatan sinergis.
Dengan melihat kebutuhan dan perkembangan kenyataan ini, sudah saatnya pemerintah tidak lagi membakukan sistem layanan pendidikan yang “itu – itu saja”, apalagi dengan model implementasi yang sama. Saatnya mulai membuka wacana baru, pemahaman baru, sikap baru, dan tentu saja respons baru dengan keberanian yang matang agar tidak ada lagi elemen bansa yang tak tersentuh oleh layanan pendidikan karena kekakuan dan kebakuan sistem yang dimiliki.
Saatnya memulai untuk menggunakan pikiran – pikiran kreatif dan adaptif untuk melihat perubahan dan pergerakan peta masalah dalam masyarakat. Saatnya kita sudahi penggunaan pikiran – pikiran reaktif yang tidak kreatif sebab kita akan berhadapan dengan realitas yang terus berubah.


Komentar