RETORIKA PEMIMPIN DAN SIKAP APATIS MAHASISWA DI “ZONA INDEPENDEN”, BENARKAH?


Merri Asiska, Pendidikan Kimia 2013
Ada apa dibalik pidato dahyat pemimpin?  Nyatakah adanya? Atau hanya bombastisme belaka? Sederet pertanyaan muncul manakala sesosok pemimpin berdiri dengan gagah, menyampaikan janji-janji melalui pidatonya yang begitu menggelora. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah semuanya akan terealisasi? 
Indonesia adalah negara kaya dengan beranekaragam suku, adat, ras, dan agama. Latar belakang yang berbeda-beda menjadikan penduduknya juga memiliki keberagaman watak dan tingkah laku. Indonesia dikenal sebagai negeri seribu bahasa, karena bahasa daerah yang beranekaragam mulai dari Sabang hingga Merauke.
“Beri aku seribu orangtua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Begitulah isi pidato Soekarno. Indonesia patut bangga dengan hadirnya sosok pemimpin yang mampu menghantarkan Indonesia hingga merdeka seperti Ir. Soekarno. Sosok yang terkenal lantang dalam pidatonya telah menggugah pemuda Indonesia untuk terus berjuang mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah. 
Ortega G. Yasset pernah berkata, “ Dalam sebuah bangsa, kaum muda ataupun mahasiswa adalah aset yang tak ternilai harganya. Bahkan kemajuan sebuah bangsa sangat bergantung terhadap kemampuan kaum muda atau mahasiswa untuk membuat perubahan-perubahan yang signifikan.” Kemampuan pemuda Indonesia tidak diragukan dalam hal menjadi gardu terdepan dalam membangun kejayaan bangsa. Sejarah Indonesia mencatat bahwa sudah beberapa kali mahasiswa Indonesia yang turut mengambil andil dalam penurunan pemerintahan Indonesia, misalnya pada tahun 1965 mahasiswa mampu mengudeta pemerintahan orde lama, sehingga terjadi orde baru. Kemudian tahun 1998 mahasiswa mampu mengudeta Soeharto sehingga terjadi reformasi. Mereka disebut pahlawan karena rela mengorbankan tenaga, waktu, dan pikiran untuk berunjuk rasa, menyampaikan aspirasi rakyat, demi menurunkan roda pemerintahan yang tak lagi sehat.
Lalu, bagaimana dengan mahasiswa di era sekarang ini?
Zona berarti daerah, sedangkan independen artinya bebas atau merdeka. Zona independen, adalah sebutan yang sesuai untuk menyebut Negara Indonesia yang telah terbebas dari penjajahan. Dewasa ini, mahasiswa Indonesia semakin jauh dari gambaran mahasiswa seperti pada zaman penjajahan. Mereka yang hidup di zaman serba canggih dan terbebas dari belenggu penjajah, seakan tidur nyenyak diatas kasur dan cenderung apatis terhadap permasalahan bangsanya sendiri.
Tahun 2014 adalah tahun dimana pesta demokrasi di seluruh Indonesia kembali diselenggarakan untuk menentukan nasib 5 tahun kepemimpinan yang akan datang. Para calon pemimpin berlomba-lomba menyampaikan janji-janji mereka, berpidato dengan semangat yang berkobar-kobar, melakukan pendekatan dengan persuasif untuk meyakinkan rakyatnya.  Namun tetap saja, apa yang kita harapkan selama ini tak kunjung terwujud. Kemiskinan sepanjang tahun semakin bertambah, kenaikan BBM, maraknya kriminalitas, serta bencana dimana-mana. Bukan hanya itu, para pejabat tinggi sebagai pemimpin bangsa seolah tak cukup dengan kedudukan yang diperoleh di kursi pemerintahan. Lagi dan lagi, uang rakyat menjadi “sasaran manis” untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Bagaimana dengan pidato panjang lebar yang dahulu diucapkan demi memperebutkan posisi tinggi di roda pemerintahan melalui pesta demokrasi? Mengapa setelah berhasil menduduki pemerintahan dan menjadi pemimpin bangsa masih banyak rakyat yang menderita? Apakah janji-janji yang “katanya” adalah aspirasi rakyat hanyalah retorika belaka? Entahlah.  Yang terpenting adalah bagaimana peran mahasiswa dalam menyikapi permasalahan di negara tercinta ini. Lagi lagi integritas mahasiswa diuji.
Dalam kenyataannya, sebagian besar mahasiswa sekarang ini tergolong pasif dalam perihal pemerintahan. Hampir semua paradigma yang dibangun sebagian besar mahasiswa sekarang ialah mencari nilai akademik yang tinggi atau sekedar “kuliah-pulang.” Yang lebih memprihatinkan lagi adalah harapan mahasiswa sebagai “agent of change” seakan telah luntur seiring perkembangan zaman. Tidak sedikit mahasiswa yang bersikap arogan dan tidak mempunyai pola pikir yang kritis. Mahasiswa berubah menjadi sosok yang mengkhawatirkan masyarakat, dikarenakan banyak tindakan kriminalitas yang melibatkan mahasiswa, mulai dari perampokan, tawuran, aksi yang berujung anarkis, pergaulan bebas, dan peredaran narkoba yang marak terjadi di kalangan mahasiswa, sehingga masyarakat semakin pesimis dengan sepak terjangnya.
Alhasil, perspektif mahasiswa sebagai generasi muda bangsa harus dirubah. Bukan dengan terjun ke dunia politik ataupun menjadi tim sukses kandidat calon pemimpin, namun menjadi penyambung lidah, menyampaikan aspirasi rakyat tatkala terjadi masa kepemimpinan yang tidak sehat, serta sebagai agen perubahan untuk membangun kejayaan bangsa yang lebih gemilang. 


Biodata narasi:
Merri Asiska, dara yang lahir 21 tahun yang lalu ini adalah seorang mahasiswi jurusan Kimia di Universitas Negeri Medan. Penulis merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara dari pasangan Fadli dan Irmawati. Penulis berasal dari Aceh dan sedang menempuh jenjang S1 di Universitas Negeri Medan setelah melalui jalur SNMPTN.
Penulis yang bercita-cita menjadi guru ini sangat tertarik dengan dunia literasi, baik fiksi maupun nonfiksi. Penulis mulai menapaki dunia literasi dan telah terangkum nyata dalam antologi kepenulisan koleksi milik pribadi. Sekarang penulis sering menjadi kontributor dalam ajang literasi.
Kecintaan penulis dalam dunia literasi semakin nyata setelah penulis aktif dalam sebuah lembaga dakwah kampus khususnya bidang keredaksian majalah Islam dan telah menjabat sebagai redaktur pelaksana. Mahasiswi ini berharap dapat menjadi penyalur aspirasi bangsa lewat untai tulisannya. Penulis beralamat di Jalan Sisingamangaraja,  gang Sumatera, Medan. Selengkapnya bisa dihubungi melalui nomor HP 085290830863, link facebook https://www.facebook.com/merri.conantaveygar, atau melalui e-mail ke merriasiska3@gmail.com

Komentar